Budaya Batak Iklan selama 2 bulan - 7 April
Headlines News :
Home » » Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija

Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija

Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija | Banyak yang mengatakan, Soegija adalah film Garin yang paling sederhana. Nyatanya, saya mendapati ini malah film yang sulit untuk diringkus. Mau dikatakan bagus ya memang lumayanlah. Namun, bagusnya ini dengan berbagai catatan.

Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija

Film ini berjudul Soegija, dengan rentang waktu sejak penahbisan Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. sebagai uskup pribumi pertama di negeri ini (1940) sampai kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda (1949). Namun, Romo Kanjeng, demikian ia dikenal, sejatinya hanya hadir sebagai bingkai.

Bingkainya malah ada dua. Selain Romo Kanjeng, ada Pak Besut, penyiar RRI. Setiap babak baru dalam film ini diawali goresan Romo Kanjeng mencatat gerak zamannya. Romo Kanjeng berperan sebagai suara moral bagi masyarakat dan zamannya, adapun Pak Besut bertugas sebagai pencatat dan pelapor kronik sejarah. Bedanya, Pak Besut terutama ditempatkan sebagai pengamat, sedangkan Romo Kanjeng turut terlibat dalam rangkaian kisah.

Maka, tampillah potret sekilas sosok seorang imam Katholik yang reflektif, namun sekaligus suka blusukan untuk weruh kahanane umat, serta peduli akan kondisi bangsanya pada khususnya, dan akan kemanusiaan pada umumnya. Maka, selain menyambangi umat yang sengsara akibat perang, ia juga menjalin komunikasi dengan para pemimpin seperti Sjahrir dan Bung Karno, mengembangkan diplomasi sehingga Vatikan menjadi negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan memindahkan kantor keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta sebagai dukungan terhadap republik.

Selebihnya film berbicara tentang nasib dan pergulatan sejumlah tokoh yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan Romo Kanjeng. Ada Ling Ling, gadis Tionghoa yang keluarganya terus jadi korban penjarahan dan terpaksa terpisah dari ibunya. Ada Mariyem, yang ingin jadi perawat dan terpisah dari kakaknya. Ada Lantip, laskar pejuang yang nantinya pengin jadi politisi. Juga ada sosok-sosok dari bangsa penjajah: Suzuki, orang Jepang yang melankolis; Robert, tentara Belanda si mesin perang; dan Hendrik, wartawan foto yang jatuh cinta pada si perawat. Dan masih ada sejumlah tokoh kecil lain yang numpang lewat di tengah zaman yang penuh gejolak itu.

Jadi? Ya, film ini bagus—dalam arti gambarnya indah, tata artistiknya lumayan berhasil menghidupkan suasana tempo doeloe, dibarengi dengan iringan musik yang cukup rancak. Meskipun kemruyuk, riuh dengan sekian banyak tokoh, aliran ceritanya cukup mudah diikuti, dan tidak terasa terburu-buru. Hanya masalahnya, masing-masing jelujuran kisah terasa menggantung, tidak meninggalkan tonjokan emosional tertentu. Di satu sisi Ling Ling bertemu kembali dengan ibunya secara ajaib; di tempat lain Mariyem bertemu lagi dengan kakaknya secara tragis. Bertemu—begitu saja—tanpa kita ikut merasa terharu atau pedih.

Kegawalan yang menonjol tampak pada akting. Sebagian besar pemain—yang kebanyakan pemain baru—tampil canggung. Annisa Hertami, misalnya, wajahnya memang nJawani dan klasik, mengingatkan pada wajah-wajah perempuan dalam album foto lama ibu saya. Namun, setiap kali ia berdialog, saya merasa sedang menyimak drama Natal di gereja. Beberapa pemain lama tidak tampil maksimal karena keterbatasan peran. Butet? Ah, ia memainkan dirinya sendiri, melontarkan celetukan yang tidak banyak beda dengan kala ia tampil di Taman Budaya Yogyakarta. Mengundang tawa memang, dan tentu bermaksud menggarisbawahi sisi kemanusiasiawian Romo Kanjeng, namun sekaligus memancing pertanyaan: Apakah protokoler di keuskupan memang serileks (untuk tidak mengatakan sekurang ajar) itu?

Sebelumnya film ini beredar, sempat ada rumor untuk memboikotnya dengan menyulut isu Kristenisasi, yang segera disanggah pihak produser dengan tergopoh-gopoh menyatakan bahwa ini bukan film agama. Nyatanya, ini memang bukan film dakwah keagamaan. Berharap mendapatkan wawasan dasar tentang iman Katholik dari film ini sama dengan berharap mendapatkan gambaran situasi perbatasan Indonesia-Timor Leste dari film Tanah Air Beta (Ari Sihasale). Minim informasi—meskipun pernak-pernik tampilan fisik dan lagu-lagu pengiring memang sangat Katholik. Saat berkhotbah pun, Romo Kanjeng tidak mengupas Kitab Suci, namun menyuarakan soal kemanusiaan dan kebangsaan. (Bandingkan dengan Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah yang mencuatkan isu keimanan—arah kiblat—dan memperkenalkan ajaran Islam di sekolah Belanda.)

Maka, ini memang film yang lebih menyoroti soal kemanusiaan dan kepemimpinan. Kalau ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu pengaruh, film ini mencoba memotret pengaruh seorang pemimpin pada masyarakat dan zamannya. Dalam konteks ini, adegan yang paling mencekam terjadi saat pasukan Jepang mulai bertingkah menindas rakyat, dan Romo Kanjeng hanya bisa memandanginya dari teras gereja. Toegimin mendekatinya dan bertanya, "Romo, apa yang akan kita kerjakan?" Setelah terdiam sesaat, baru Romo Kanjeng menjawab, "Kadang-kadang kita tidak bisa berbuat apa-apa."

Selebihnya, Soegija seperti foto-foto yang ditinggalkan Hendrik pada Mariyem: rekaman sekilas-sekilas pada tokoh yang dikagumi, gadis yang dicintai, dan tanah yang indah tapi terpaksa ditinggalkan.

Adapun tentang kemanusiaan yang satu itu, menurut saya, Garin menggambarkannya dengan agak banal. Bahwa perang memisahkan kita, bukan hanya si terjajah, namun juga si penjajah, sehingga ada prajurit Jepang yang berbelas kasihan pada Ling Ling karena ia sendiri memiliki anak gadis seumuran itu di tanah asalnya. Lalu, ada yang kasar. Robert mencemooh tangan uskup Jawa itu tentulah bau kerbau; eh, nanti gantian Marwoto, yang kali ini jualan dawet, mengajari anak-anak kecil bernyanyi: E... Londone teka, e... pakakno asu!

Selebihnya, Garin rasanya sekadar membajak beberapa baris kata-kata mutiara dari pemikiran Soegijopranata, lalu menggunakannya untuk menyoroti situasi zaman kini. Seperti ini, “Berikan saja pada rakyat dulu. Kalau ada yang kenyang, biar rakyat yang pertama kali merasakannya. Kalau ada yang kelaparan, biar pemimpin yang pertama kali merasakannya.” Atau, seperti ini, "Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan.”

Bagus, bukan? Ya, baguslah. Namun, untuk mendapatkan kata-kata mutiara seperti itu, saya lebih suka membacanya dalam buku daripada memperolehnya dari film.

Tulisan ini diambil dari : Garin Membajak Soegija
Becak Siantar
Share this post :
Terimakasih Anda telah membaca tentang
Judul: Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh BosCoy
Semoga informasi Review Film Soegija : Garin Membajak Soegija bisa memberikan manfaat bagi Anda. Jangan lupa komentar Anda bila ingin bertanya. Salam Sukses

Posting Komentar

Berkomentarlah Sesuai dengan Topik, dan jangan sekali-kali menempelkan link apa saja di dalam komentar, karena akan kami hapus.

 
Support : Mas Template | Blog Tutorial | Info Lowongan Kerja
Copyright © 2011. Bali Dua Online - All Rights Reserved
Template ReCreated by Kumpulan Adsen Published by Info Bos
Proudly powered by Blogger